materi pengantar filsafat hukum_16 septermber 2025
Category Archives: Hukum Konstitusi dan Acara Mahkamah Konstitusi
PERLINDUNGAN HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA
Sejarah Pembentukan Konstitusi
KEDUDUKAN KONSTITUSI DALAM NEGARA HUKUM INDONESIA
Hubungan Presiden dan DPR dalam Pembentukan Undang-Undang
ASAS DAN SUMBER HUKUM ACARA MK
ARSITEKTUR HUKUM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL INDONESIA
ARSITEKTUR HUKUM SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL INDONESIA
Dr.M Yusrizal Adi S,SH.MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Medan Area
ABSTRAK
Perencanaan pembangunan nasional Indonesia yang saat ini tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) ternyata tidak dapat menyentuh setiap kepentingan masyarakat Indonesia. Pembangunan nasional yang berorientasi hanya sebatas pada pembangunan infrastruktur tanpa pembangunan hukum, politik dan moral bangsa menjadikan proses pembangunan nasional menjadi terhambat.
Diperlukan bentuk arsitek hukum dalam sistem perencanaan pembangunan nasional agar tujuan berbangsa dan bernegara terwujud.Metode penelitian yang dipergunakan adalah penelitian yuridis normatif. Pendekatan penelitian dilakukan dengan pendekatan preskriptif analitis.Pembangunan nasional Indonesia harus memiliki karakteristik hukum yang tidak mudah untuk dilakuakan perubahan agar terwujud kepastian hukum. Sistem pembangunan nasional harus mengedepankan keadilan dan manfaat bagi setiap rakyat Indonesia. Arsitek hukum dalam sistem pembangunan dan perencanaan nasional harus dilandaskan kepada UUD 1945 sebagai konstitusi dan Pancasila sebagai landasan filosofis bangsa Indonesia.
Kata Kunci: Arsitek Hukum, Sistem Perencanaan Pembangunan, Indonesia
PENDAHULUAN
Sebagai negara hukum[1], Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadikan konstitusi sebagai hukum dasar (grundnorm)[2] yang menjadi puncak dari segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dibawahnya. Konstitusi sebagai hukum dasar memerlukan sebuah naskah yang bentuk, susunan dan mekanismenya dapat dijadikan sebagai sebuah landasan yang utuh dalam rangka mewujudkan sebuah tata hukum yang benar-benar mampu menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat baik pada masa sekarang maupun pada masa depan.
Undang Undang Dasar Negara 1945 (UUD 1945) yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 merupakan langkah awal menciptakan sebuah negara hukum. Kehidupan bernegara Indonesia yang pernah berlaku beberapa konstitusi seperti UUD 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan Undang Undang Dasar Sementara Tahun 1950, pada kenyataannya UUD 1945 tetap bertahan sebagai hukum dasar negara Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa sistem negara kesatuan yang dianut dalam UUD 1945 mampu mewadahi keberagaman rakyat Indonesia sebagai masyarakat madani.
Perjalanan sejarah bangsa Indonesia membuktikan bahwa UUD 1945 perlu untuk disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan demokrasi yang dinilai lebih dewasa terutama sejak lahirnya era reformasi yang ditandai dengan berakhirnya kekuasaan orde baru yang telah berlangsung selama 32 tahun. Penyesuaian ini kemudian dikenal dengan amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan sebanyak empat kali sejak tahun 1999 hingga tahun 2002[3].
Tuntutan perubahan UUD 1945 pada era reformasi t merupakan suatu langkah terobosan mendasar karena pada era sebelumnya tidak dikehendaki adanya perubahan UUD 1945. Sikap politik pemerintah Orde Baru diperkuat dengan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum, yang berisi kehendak untuk tidak melakukan perubahan UUD 1945. Apabila muncul juga kehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus dilakukan referendum dengan persyaratan yang sangat ketat sehingga kecil kemungkinan untuk berhasil sebelum usul perubahan UUD diajukan ke sidang MPR untuk dibahas dan diputus[4].
Hasil amandemen UUD 1945 terjadi perubahan besar terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Terjadinya pembaharuan sistem perundang-undangan (instrumental reform) atau hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Perubahan tersebut melalui Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan terakhir dirubah dengan Undang-Unadng Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan
Salah satu hasil amandemen yang krusial pada UUD 1945 adalah tidak ada lagi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman pelaksanaan pembangunan nasional. Hapusnya GBHN adalah konsekuensi berubahnya posisi Majelis Permusyawaran Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tingi negara. Artinya MPR berkedudukan sama dengan lembaga tinggi negara lainnya, yaitu Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, BPK, dan MK.
Hapusnya GBHN berarti hilangnya sarana pemandu pelaksanaan pembangunan nasional yang terbukti mampu memandu Orde Baru melaksanakan kegiatan pembangunan berturut-turut sejak dari 1973 sampai 1998. Keberadaan GBHN pada rezim Orde Baru telah mampu melaksanakan pembangunan secara bertahap dari satu capaian pada satu periode keperiode berikutnya yang dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA).
Dengan GBHN pembangunan dapat dilaksanakan secara terencana, terkendali dan terevaluasi. Hapusnya GBHN sebagai pemandu pelaksanaan pembangunan harus kembali dicari penggantinya. Karena itulah di era reformasi ini muncul RPJPN yang oleh rezim pembuatnya dimaksudkan sebagai pengganti GBHN.[5]
Rencana Pembangunan Nasional sebagai pengganti GBHN diatur di dalam UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang menyatakan bahwa penjabaran dari tujuan dibentuknya Republik Indonesia seperti dimuat dalam Pembukaan UUD 1945, dituangkan dalam bentuk RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang).
Jangka waktu RPJP adalah 20 tahun, yang dijabarkan dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) yaitu perencanaan dengan skala waktu 5 tahun. RPJM berisikan visi, misi dan program pembangunan dari presiden terpilih, dengan berpedoman pada RPJP. Di tingkat daerah, Pemda harus menyusun sendiri RPJP dan RPJM Daerah, dengan merujuk kepada RPJP Nasional.
Saat ini RPJPN mendapat banyak tangapan kritis karena dianggap tidak representatif untuk disebut sebagai panduan dalam pelaksanaan pembangunan. Fenomena pelaksanaan pembangunan antara pusat dan daerah dan antar daerah yang tidak sinkron karena berjalan sendiri-sendiri adalah bukti nyatak telah terjadi inkredibiltas dari RPJPN.
Pelaksanaan pembangunan negara diperlukan sistem dan blue print yang sesuai dengan konsep nasional bangsa Indonesia, bukan semata-mata visi pembangunan hanya bersumber dari Presiden selaku Pemerintah. Diperlukan rel/arah yang konsisten dan benar dalam membuat sebuah perencanaan pembangunan nasional dengan komprehensif dan merata baik secara vertikal maupun horizontal.
Berdasarkan realitas hukum dan politik Indonesia saat ini, maka diperlukan Arsitektur hukum dalam menemukan dan membangun sistem perencanaan pembangunan nasional saat ini. Maka penelitian ini berjudul Arstitektur Hukum Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia.
PERMASALAHAN
Penelitian ini memfokuskan pada bagaimana arsitektur hukum sistem perencanaan pembangunan nasional Indonesia di masa depan?
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dipergunakan adalah metode yuridis normatif. Pendekatan penelitian ini adalah perskriptif analisis. Pengumpulan data dilakukan dengan cara Penelitian kepustakaan (library research) dengan instrument penelitian dokumentasi kepustakaan, artinya bahwa Penulis dalam mengkaji persoalan yang berhubungan dengan permasalahan diatas bersumber pada literatur-literatur yang relevan dengan permasalahan tersebut dengan sumber hukum primer yang berasal dari peraturan perundang-undangan.
PEMBAHASAN
Arsitektur Hukum Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
Konstitusi sebagai hukum dasar penyelenggaraan Negara menurut C.F Strong sebagai kumpulan prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak pihak yang diperintah (rakyat) dan hubungan antar keduanya. Konstitusi bisa berupa sebuah catatan tertulis; konstitusi dapat ditemukan dalam bentuk dokumen yang bisa diubah atau diamandemen menurut kebutuhan dan perkembangan zaman, atau konstitusi dapat juga berwujud sekumpulan hukum terpisah dan memiliki otoritas khusussebagai hukum konstitusi. Atau, bisa pula dasar-dasar konstitusi tersebut ditetapkan dalam satu atau dua undang-undang dasar sedangkan selebihnya bergantung pada otoritas kekuatan adat istiadat atau kebiasaan.[6]
Periode sebelum amandemen UUD 1945 dan sesudah amandemen, di Indonesia dikenal 2 (dua) model perencanaan pembangunan nasional yang berdimensi waktu jangka panjang, yakni Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).
Model RPJPN sebagai pengganti GBHN, dilaksanakan dalam sistem pada tahun 1999 hingga 2002, dalam 4 (empat) tahap amandemen. Model perencanaan pembangunan nasional yang terdapat di GBHN atau RPJPN berisi tentang materi-materi pembangunan disetiap bidang kehidupan nasional (Hukum, Sosial Budaya, Politik, Ekonomi, Pendidikan, Teknologi, dan sebagainya).
Khusus pada pembangunan bidang hukum, bahwa Idealnya pembangunan hukum diselenggarakan secara sistemik. Sistemik aritnya dilakukan dengan suatu kerja perencanaan dan pengimplementasian serta evaluasi kinerja secara keseluruhan mengenai capaian pembangunan hukum.
Sistematik pembangunan hukum adalah tujuan ideal pembangunan hukum yang diamanahkan UUD 1945. Tujuan pembangunan hukum untuk menciptakan sistem hukum yang memuat kepastian, keadilan dan manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia dan bukan keinginan atau hasil kompromi politis golongan atau pihak tertentu saja.
Arah kebijakan pembangunan bidang hukum dalam di era Orde Baru, Era Transisi, dan Era Refomasi, adalah mewujudkan arah kebijakan pembangunan hukum yang diamanahkan dari UUD 1945. Konsistensi, relevansi dan kesingkronan antara nilai, kaidah dan noma-noma fundamental yang ada pada UUD 1945 dengan formulasi kebijakan yang dibentuk oleh Presiden harus berdasarkan pada UUD 1945 sebagai konstitusi Indoenesia.
Berdasarkan tingkatan peraturan perundang-undangan di Indonesia[7], maka disebutkan bahwa ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari Undang-Undang,.
Penulis berpendapat bahwa reformulasi pembentukan perencanaan pembangunan pada prinsipnya dapatlah dimasukan kedalam TAP MPR RI sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam struktur peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tetapi diperlukan pengkajian yang lebih komprehensif. Diperlukan pengkajian yang memuat landasan filosofis, yuridis formal, sosiologis, ekonomi dan politik agar dalam penatalaksaan hal tersebut tidak menimbulkan persoalan yang baru.
Ketika MPR sebagai lembaga permusyawaratan, tidak memiliki wewenang lagi untuk menafsir dan menjabarkan pasal-pasal UUD 1945 dalam bentuk GBHN, maka Perencanaan Pembangunan Nasional sebagai upaya berkesinambungan untuk merealisasikan tujuan nasional yakni melindungi, mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat, dirubah sistem dan lembaga perencananya.
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional diatur dengan UU No. 25 Tahun 2004 dan UU No. 17 Tahun 2007 yang berisi visi, misi, arah pembangunan nasional, dengan sistimatika Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) per-20 tahun dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJMN) per- 5 tahun. RPJMN disusun oleh Presiden dan ditetapkan dengan Peraturan Presiden RI dengan tujuan meningkatkan taraf hidup, pemenuhan kecerdasan, dan kesejahteraan masyarakat.
RPJPN memiliki banyak kelemahan selama kedudukannya diatur dalam tingkat Undang-Undang, diantaranya:
- Penyusunan dan pelaksanaan RPJPN dipandang lemah, karena executive perspective.
- Terjadi inkonsistensi dan diskontinuitas pelaksanaan RPJPN dengan RPJMN karena pergantian Presiden 5 tahun sekali.
- RPJM Nasional tidak sinkron dengan Daerah, karena RPJM Daerah disusun menurut perspektif daerah.
Tanpa adanya haluan pembangunan nasional sebagai otoritas tertinggi yang mengarahkan pembangunan bangsa menjadikan negara Indonesia tidak lagi negara kesatuan, tetapi negara dengan multy government. Kekuasaan ada dimana-mana (Pusat dan Daerah) yang dengan mudah dapat diselewengkan untuk kepentingan diri dan kelompok dalam bentuk pelanggaran hukum dan moral.
RPJM yang disusun dan dilaksanakan selama ini tidak menjawab secara komprehensif persoalan nasional yang dihadapi Indonesia, apalagi jika dikaitkan dengan konteks persaingan dan kemajuan negara-negara tetangga lainnya. Indonesia mengalami kemunduran dalam pembangunan bangsa. Atas dasar itu, maka berbagai pihak mulai berpikir untuk menghidupkan kembali GBHN sebagai panduan untuk kepala negara (Presiden) dalam menjalankan roda pemerintahan.
Presiden tidak perlu membuat program baru, karena tugas presiden hanya melaksanakan GBHN yang telah disusun. Berbagai pihak banyak yang menyesalkan penghapusan tugas MPR dalam menentukan GBHN, karena tanpa GBHN pembangunan Indonesia sulit diharapkan dapat berkesinambungan dan Indonesia tidak akan mampu menghadapi berbagai ancaman di masa depan.
GBHN sebagai aset bangsa kembali diperhitungkan dalam perannya sebagai pagar kehidupan bangsa. Hilangnya pagar kehidupan telah membuat bangsa ini dengan mudah dijamah tangan-tangan asing, dimana visi pembangunan cenderung hanyut dalam hiruk pikuk kepentingan asing sehingga kesejahteraan rakyat terabaikan.
Kesepakatan nasional untuk mengembalikan GBHN sebagai haluan negara Indonesia tidaklah mudah. Terbentuknya sistem hukum setelah amandemen UUD 1945 mengharuskan untuk diadakan arsitek hukum baru dalam mengakomodir sistem perencanaan pembangunan. Arsitek hukum tersebut dapat ditentukan dalam Ketetapan MPR, ataupun tetap pada undang-undang.
Dalam perwujudan cita-cita nasional, sudah seharunya bangsa Indonesia melalui pemerintah memiliki model pembangunan nasional yang dirancang secara komprehensif dan merata, memiliki korelasi dan konsistensi dalam perspektif yuridis dengan politik pembangunan.
Arah kebijakan pembangunan hukum dapat dipahami dengan lebih baik jika menggunakan pendekatan teori sistem hukum. Gagasan mengenai sistem hukum yang diadopsi dari Lawrence M. Friedman. Bahwa terdapat tiga komponen yang terdapat dalamsistem hukum, yakni struktur hukum, substansi hukum dan kultur hukum.[8]
Rumusan arah kebijakan pembangunan nasional bidang hukum yang dimuat dalam perencanaan pembangunan nasional yang besifat jangka panjang, sebaiknya merupakan rumusan yang lahir dari sebuah paradigma pembangunan hukum yang bersifat ideal.
Bekenaan dengan strategi penyusunan perencanaan pembangunan nasional yang berdimensi jangka panjang sebagai dokumen hukum, yang juga memuat perencanaan arah kebijakan pembangunan hukum nasional, status hirarkisnya secara yuridis seharusnya lebih tinggi dari sekedar UU, karena sifatnya merupakan pedoman bagi presiden yang terpilih, oleh karenanya perencanaan pembangunan nasional model GBHN sebaiknya dipertimbangkan kembali untuk digunakan.
PENUTUP
Kesimpulan
Pada saat sekarang ini, sistem perencanaan pembangunan nasional Indonesia dimuat dalam bentuk undang-undang sebagai dasar hukumnya. Kenyataannya adalah bahwa sebuah undang-undang dapat dirubah kapan saja, sesuai dengan problematika politik antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Presiden. Oleh karena itu, belum adanya kepastian mengenai sistem perencanaan pembangunan nasional Indonesia menjadikan arah kebijakan politik pemerintah tidak memiliki arsitek hukum yang pasti dan selalu relatif dapat berubah.
Saran
Maka dari itu, ada beberapa hal yang direkomendasikan :
- Pertama, model pembangunan nasional dimasukan sebagai blue print pembangunan nasional secara merata melalui tingkatan peraturan perundang-undangan langsung dibawah konstitusi yakni Ketatapan MPR hal ini sesuai dengan amanah UU No 12 tahun 2011, dimana kembali dimasukkannya Ketetapan MPR Sebagai hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia
- Kedua, down- top government artinya model pembentukan pembangunan nasional harus disusun tidak hanya atas dasar visi dan misi personal presiden/wakil presiden yang sedang melaksanakan pemerintahan, jauh dari itu, maka harus memasukan semua kepentingan nasional dalam rancangan pembangunan artinya subsantasi materi RPJPN harus memuat kepentingan nasional bangsa Indonesia baik secara vertikal maupun horizontal ( pemeritah pusat dan daerah), alangkah lebih baiknya dalam proses penyusuna Rencana pembangunan disusun atas kehendak masyarakat daerah yang kemudian diakomodir oleh pemerintah pusat sesuai dengan prinsip otonomi daerah dalam sistem pemerintahan presidensial Indonesia;
- Merubah UUD 1945 sebagai landasan konstitusional pembentukan Rencana Janka Panjang Nasional bangsa Indonesia sebagai blue print pembangunan nasional.Sehingga arah Rencana pembangunan nasional secara yuridis memiliki dasar yang kuat dan stabil.
DAFTAR PUSTAKA
[1]Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta; 2006, hal. 148-149.
[2]Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, PengantarHukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Indonesia, Jakarta;1983, hal. 65-66.
[3]Amandemen UUD 1945 yang dilakukan sebanyak empat kali tersebut adalah pada Sidang Umum MPR 1999 tanggal 14-21 Oktober 1999, Sidang Tahunan MPR 2000 tanggal 7-18 Agustus 2000, Sidang Tahunan MPR 2001 tanggal 1-9 November 2001 dan Sidang Tahunan MPR 2002 tanggal 1-11 agustus 2002.
[4]Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 2005, hal. 4.
[5]Cholid Mahmud,Reformulasi GBHN Menguatkan KedudukanPedoman Pembangunan Nasional, Makalah ini untuk disampaikan FGD tentang “Reformulasi Model GBHN: Upaya Mewujudkan Kesatuan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Daerah”, Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Kamis, 6 Sept 2012, 08.00 – 15.30, Hotel Phoenix, Yogyakarta
[6]C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Moderen. Bandung: Nusa Media,2010, Hal. 35
[7] Pasal 7 ayat (1) UU No 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa Sistem hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia yakni:
- UUD 1945
- TAP MPR RI
- Undang-Undang/Perpu
- Peraturan Pemerintah
- Peraturan Presiden
- Peraturan Daerah Provinsi
- Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
[8] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Jakarta: Kencana, 2009, Hal. 7